KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayahnya
kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik . Tak lupa pula shalawat berangkaikan
salam penulis haturkan kepada junjungan kita nabi Muhammad saw ,semoga kita mendapatkan syafa’atnya kelak.
Amiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Makalah ini kami susun dalam rangka
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ushul
Fiqih. Mudah
mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah khazanah
pengetahuan kita untuk mengetahui sumber hukum islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan .Oleh karna
itu ,penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
ibu dosen serta teman-teman seperjuangan demi perbaikan makalah ini.
Demikian,semoga
Allah selalu memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita.
Medan, 20 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................. 1
Daftar Isi ....................................................................................................................... 2
BAB I : Pendahuluan.................................................................................................... 3
A.
Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
BAB II : Pembahasan
A.
Hukum .............................................................................................................. 4
B.
Hakim................................................................................................................ 5
C.
Mahkum Fih ..................................................................................................... 6
D.
Mahkum ‘Alaih ................................................................................................. 8
BAB
III Kesimpulan .................................................................................................... 9
A.Daftar
Pustaka.....................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang benar. Kita sebagai
penganut agama islam yang menjadikan Allah sebagai Tuhan dan meyakini bahwa
Muhammad sebagai pembawa agama islam haruslah mengikuti aturan-aturan yang
telah termaktub di dalam Al – Qur’an. Tidak sampai disitu saja, ternyata masih
ada hadits yang harus dijadikan sebagai pedoman umat islam.
Para ulama telah menyepakati bahwan landasan (sumber)
hukum islam ada empat, yaitu :
1.
Al – Qur’an
2.
Al – Hadits
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Sebagaiman firman Allah Q.S Annisa 59
Point-point diataslah yang merupakan pedoman umat
islam dalam melakukan Hablum mina Allah
dan Hablum mina annas. Al – Qur’an merupakan firman Allah, hadits berasal
dari Rasulullah, dan Ijma’ serta Qiyas berasal dari para Ulama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Al –
Qur’an, fungsi dan kedudukan Al – Qur’an sebagai sumber islam
2.
Pengertian
Hadits, fungsi dan kedudukan hadits sebagai sumber islam
3.
Pengertian
Ijma’, fungsi dan kedudukan ijma’ sebagai sumber islam
4.
Pengertian
Qiyas, fungsi dan kedudukan qiyas sebagai sumber islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al – Qur’an
1.
Pengertian Al –
Qur’an
Al – Qur’an merupakan kitab suci agama islam, namun
agama islam tidak hanya unuk umat islam melainkan untuk rahmat seluruh alam.
Secara etimologis Al-Qur’an adalah
bentuk mashdar dari kara qara-a (قرأ) sewazan
dengan kata fu’laan (فعلان ), artinya;
bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah.
Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim
maf’ul (objek) dari قرأ.
Al – Qur’an[1]
adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perntara Jibril ke dalam
hati Rasulullah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasul
bahwasanya dia adalah utusan Allah.[2]
2. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber
pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama
fiqih. Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan
hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan
pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka
dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan
apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan Al-Qur’an.
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an
tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah
SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
3. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., untuk
disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka,
khususunya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu
dapatmmendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan
manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya. Para ulama Ushul Fiqih
menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah,
Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.[3]
B.
Hadits/Sunnah
1.
Pengertian hadits
Hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu: Qarib,
artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya
berita atau warna.
Hadits menurut istilah syara’ adalah
ucapan,perbuatan atau pengakuan Rasulullah Saw.[4] Secara istilah menurut
ulama ushul fiqh: “Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alquran baik
berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”
2.
Kedudukan Hadits
Alquran memerintahkan
kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisa: 59)
Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup
Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah
Rasulullah sebagai sumber hukum. [5]
Chaerul Uman, dkk. (2001: 64-67), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
pendapat jumhur ulama tentang sunah Rasul sebagai sumber hukum yang kedua
sesudah Al- Quran di dalam menetapkan suatu keputusan hukum, seperti
menghalalkan ataumengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al-Quran. Oleh
karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang
terkandung di dalamnya
selama hadis itu sah dari Rasulullah SAW.
3.
Fungsi Hadits
Secara umum fungsi
sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim
(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa
fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
a.
Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan
merinci ayat-ayat global
b.
Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat
teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
C.
Ijma’
1.
Pengertian Ijma’
Secara etimologi ijma’ berasal dari
kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya “bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”.
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan
kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan
umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
Dan secara istilah :
اتفاق
مجتهدي هذه الأمة بعد النبي
صلّى الله عليه وسلّم على
حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi
Shallallahu
'alaihi wa
sallam terhadap suatu hukum syar'i."[7]
2. Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan
hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang
didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa
berdiri sendiri.” Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang
artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka
hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu
berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran.
Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan
kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah
ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
3.
Syarat-syarat Ijma’
Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya :
1. Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya
dikalangan
'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas
pengetahuannya.
2. Tidak
didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu
maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan kematian yang
mengucapkannya.[8]
D. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qias menurut bahasa
artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan
persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan
(mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum
mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh
kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).[9]
2. Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum
syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار
(الحشر:٢)
“Maka menjadi
pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini
“menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak
disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
3. Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya
:
1. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak
dianggap
qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma' atau perkataan
shohabat jika kita mengatakan bahwa
perkataan shohabat adalah hujjah. Dan
qiyas yang
bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang
rusak .(فاسد الاعتبار )
2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma'. Jika hukum ashl-nya
itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi diqiyaskan
dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut adalah
lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang lainnya yang
dijadikan ashl kadang-kadang tidak shohih.
KESIMPULAN
Agama Islam merupakan agama rahmatan
lil ‘alamin. Untuk menjanlankan ibadah, maka ada sumber hukum yang harus di
gunakan, yaitu :
1.
Al – Qur’an,
merupakan firman Allah
2.
Sunnah , merupakan
segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah
3.
Ijma’ , merupakan
hasil dari kesepakatan para mujtahid
4.
Qiyas , merupakan
perbandinga hukum yang satu dengan hukum yang lain
[1] Kata “Al
– Qur’an” dalam bahasa Arab di ambil dari kata qara-a, seperti kata “al
Ghufraan” juga di ambil dalam kata ghafara.
Jadi urutannya : qara-a yaqra-u
qur-aanan qiraa-atan. Seperti dalam firman Allah :
dan
Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk, kecuali syaitan yang mencuri-curi
(berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api
yang terang. (Q.S Al – Qiyamah : 17-18)
[7] Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh
al-'UtsaiminV PRINSIP ILMU USHUL FIQIH http://tholib.wordpress.com 2007 hlm
100
No comments:
Post a Comment