BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali
bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau
kerajaan. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung
bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan,
adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui
dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam
menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah
khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang
didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya
dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian
ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi
politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah
juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali)
membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya
Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, namun dengan perjanjian bahwa
pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada ummat Islam.
Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan nama
jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru
dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan kami menyusun makalah
ini adalah:
1. Agar bisa mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Dinasti
Umayyah.
2. Agar bisa mengetahui bagaimana sistem pemerintahan Dinasti
Umayyah.
3. Untuk mengetahui apa saja kemajuan yang dicapai pada masa
Dinasti Umayyah.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemunduran
Dinasti Umayyah.
BAB II
DINASTI UMAYYAH (662- 750)
A. Pengertian Sejarah Berdirinya
Dinasti Umayyah
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah
berasal dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. Bani Umayyah baru
masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya,
yaitu ketika Nabi Muhammad berserta beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar
percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu masuk ke dalam kota
Makkah. Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik
dikalangan ummat Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin
Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah
Iraq mengangkat al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara
itu Mu’awiyah sebagi gubernur propinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan
dirinya sebagai Khalifah.
Namun karena Hasan ternyata lemah
sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali
menyerahkan pemerintahannya kepada mu’awiyyah bin abi sufyan.Mu'awiyah sebagai
pendiri dinasti Umayyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang
menjadi musuh Nabi Muhammad saw. Mu'awiyah dan keluarga keturunan Bani Umayyah
memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan kota Makkah. Nabi pernah
mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi saudaranya
yang perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik Mu'awiyah mulai
meningkat pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab. Setelah kematian Yazid Ibn
Abu Sufyan pada peperangan Yarmuk, Mu'awiyah diangkat menjadi kepala di sebuah
kota di Syria. Karena keberhasilan kepemimpinannya, tidak lama kemudian dia
diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah Umar. Mu'awiyah selama menjabat
sebagai gubernur Syria, giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam
sampai perbatasan wilayah kekuasaan Bizantine.Pada masa pemerintahan khalifah
Ali Ibn Abu Thalib, Mu'awiyah terlibat konflik dengan khalifah Ali untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.Sejak saat itu Mu'awiyah
mulai berambisi untuk menjadi khalifah dengan mendirikan dinasti Umayyah.
Setelah menurunkan Hasan Ibn Ali, Mu'awiyah menjadi penguasa seluruh imperium
Islam,dan menaklukan Afrika Utara merupakan peristiwa penting dan bersejarah
selama masa kekuasaannya[1].
B. Sistem Pemerintahan Bani Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan
memperluas batas wilayah Islam, Mu’awiyah sangat mengandalkan orang-orang
Suriah. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu sangat
menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah tersebut.
Sebagai organisator militer,
Mu’awiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan se-zamannya. Ia
mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu kekuatan
militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi, ia membangun sebuah
Negara yang stabil dan terorganisir. Ketika berkuasa, Mu’awiyah telah banyak
melakukan perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahan negeri waktu itu.
Mulai dari pembentukan angkatan darat yang kuat dan efisien, dia juga merupakan
khalifah pertama yang yang mendirikan suatu departemen pencatatan
(diwanulkhatam) yang fungsinya adalah sebagai pencatat semua peraturan
yang dikeluarkan oleh khalifah. Dia juga telah mendirikan (diwanulbarid) yang
memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam
pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Mu’awiyah melaksanakan kekuasaan
pemerintahan pusat.
Pada 679 M, Mu’awiyah menunjuk
puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Ketika itulah ia memperkenalkan
sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti
besar Islam, termasuk dinasti Abbasiyah.
Pada perkembangan berikutnya, setiap
khalifah mengikuti caranya, yaitu menobatkan salah seorang anak atau kerabat
sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya. Pemindahan kekuasaan
Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi
heridetis (kerajaan turun temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Sikap Mu’awiyah seperti ini di pengaruhi oleh keadaan
Syiria selama dia menjadi gubernur disana[2].
Sistem dan model pemerintahan yang
diterapkan Dinasti Umayyah ini mengundang kritik keras, terutama dari golongan
Khawarij dan Syiah. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban
dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah orang non-Arab dan
memposisikan mereka sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut menimbulkan
kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani Umayyah. Di bidang yudikatif, para
qadi (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh khalifah.
Ketika Abdul Malik naik tahta, perbaikan di bidang administrasi pemerintahan
dan pelayanan umum digalakkan. Ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai
bahasa resmi di setiap kantor pemerintahan. Sebelum itu, bahasa Yunani
digunakan di Suriah, bahasa Persia di Persia, dan bahasa Qibti di Mesir.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik,
para gubernur yang diangkatnya menjalankan fungsinya dengan baik. Gubernur
Mesir saat itu, Abdul Aziz bin Marwan, membuat alat pengukur Sungai Nil,
membangun jembatan, dan memperluas Masjid Jami Amr bin Ash. Sementara itu,
gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, melakukan perbaikan sistem irigasi dengan
mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat ke seluruh pelosok Irak sehingga
kesuburan tanah pertanian terjamin. Ia juga melarang keras perpindahan orang
desa ke kota. Kehidupan ekonomi juga dibangun dengan memperbaiki sistem keuangan,
alat timbangan, takaran, dan ukuran.
Pada masa Hisyam bin Abdul Malik,
seorang gubernur juga mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik
dan militer dalam provinsinya. Ketika al-Walid I naik tahta menggantikan Abdul
Malik, kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia mengumpulkan anak
yatim, memberi mereka jaminan hidup, dan menyediakan guru untuk mengajar
mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang
buta diberikan penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga
mendirikan bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dirawat sesuai dengan
persyaratan kesehatan. Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke
Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu, digali sumur untuk menyediakan air bagi orang
yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur itu, ia mengangkat pegawai.
Pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia melakukan pembersihan di kalangan
keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah diberikan kepada
orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitul mal. Terhadap para gubernur dan
pejabat yang bertindak sewenang-wenang, ia tidak ragu-ragu mengambil tindakan
tegas berupa pemecatan. Kebijakannya di bidang fiskal mendorong orang
non-Muslim memeluk agama Islam. Pajak yang dipungut dari orang Nasrani
dikurangi. Jizyah atau pajak yang masih dipungut dari orang yang telah masuk
Islam di antara mereka dihentikan. Dengan demikian, mereka berbondong-bondong
masuk Islam. Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz melakukan berbagai
perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan lahan
pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat
penginapan bagi para musafir, memperbanyak masjid, dan sebagainya[3].
C. Kemajuan yang Dicapai Dimasa
Pemerintahan Umayyah
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan
dengan ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang besar dan luas. Dari
persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih kebudayaan
dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak
memusatkan perhatian pada kebudayaan arab[4] .
pada zaman pemerintahan Abdul Malik,
Salih Ibn Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, mencoba menjadikan bahasa arab
sebagai bahasa resmi di seluruh negeri. Meskipun, bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya
dihilangkan. Orang-orang non Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai
menggunakan bahasa arab. Perhatian bahasa arab mulai diberikan untuk
menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa arab.Hal inilah yang mendorong
lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian
pada syair arab jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab
mengalami kemajuan.
Bidang pembangunan juga di perhatian
para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid di semenanjung Arabia dibangun,
katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims
digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini
gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan,
sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di
Iraq[5] .
Ekspansi ke barat dilakukan secara
besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa ini
dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa
pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya benua Eropa yaitu pada tahun 771 M. Ekspedisi tersebut
dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan antara
Maroko dan benua Eropa. Mereka kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan
dengan Gibraltar (jabal tariq).Tariq berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan
dapat menguasai Kordova, Seville, Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dinasti Umayyah
disamping telah berhasil dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan
sebelumnya, dalam berbagai bidang, diantaranya adalah:
Dalam bidang administrasi
pemerintahan meliputi:
1. Pemisahan kekuasaan. Terjadi
dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
2. Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan
terbagi menjadi beberapa provinsi, yaitu: Syiria dan Palestina, Kuffah dan
Irak, Basrah dan Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah,
Arenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman
dan Arab Selatan,serta Andalusia.
3. Bidang administrasi pemerintahan.
Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk dewan. Departemen pajak
dinamakan dengan dewan Al-Kharaj, departemen pos dinamakan dengan dewan Rasail,
departemen yang menangani berbagi kepentingan umum dinamakan dengan dewan
Musghilat, departemen dokumen negara dinamakan dengan dewan Al- Khatim.
4. Organisasi keuangan. Terpusat pada
baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi non
muslim. Percetakan uang dilakukan pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
5. Bidang arsitektur. Terlihat pada
kubah Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa
khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 691 M.
6. Bidang pendidikan. Pemerintah
memberikan dorongan kuat dalam memajukan pendidikan dengan menyediakan sarana
dan prasarana. Hal tersebut dilakukan agar para ilmuan, ulama’ dan seniman mau
melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya serta dapat melakukan
kadernisasi terhadap generasi setelahnya.
Pada masa ini telah dilakukan
penyempurnaan penulisan al-Quran dengan memberikan baris dan titik pada
huruf-hurufnya. Hal tersebut dilakuakn pada masa pemerintahan Abd Malik Ibn
Marwan yang menjadi khalifah antara tahun 685-705M. Pada masa Dinasti ini juga
telah dilakukan pembukuan hadist tepatnya pada waktu pemerintahan khalifah Umar
Ibn Abd Al-Aziz (99-10 H), mulai saat itu ilmu hadist berkembang dengan sangat
pesat. Khalifah-khalifah dinasti Umayyah juga menaruh perhatian pada
perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu agama yang mencakup al-Qur’an,
hadist,fikih,sejarah dan geografi. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu
yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.Ubaid Ibn Syariyah
Al Jurhumi telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.Ilmu pengetahuan
bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa seperti nahwu, sharaf,
dan lain-lain. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal
dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu
yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Khalifah Al-Walid
mendirikan sekolah kedokteran, ia melarang para penderita kusta meminta-minta
di jalan bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para penderita kusta tersebut,
pada masa ini sudah ada jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan anak terlantar.
D. Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya
Dinasti Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh Daulah
Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti yang berkuasa
hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa factor yang
kemudian mengantarkan pada titik kehancuran. Diantara fakto-faktor tersebut
adalah:
1. Terjadinya pertentangan keras antara
kelompok suku Arab Utara (Irak) yang disebut Mudariyah dan suku Arab Selatan
(Suriah) Himyariyah, pertentangan antara kedua kelompok tersebut mencapai
puncaknya pada masa Dinasti Umayyah karena para khalifah cenderung berpihak
pada satu etnis kelompok.
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam
non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu status yang menggambarakan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama orang Arab mengalami
beratnya peperangan dan bahkan diatas rata-rata orang Arab, tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3. Konfllik-konflik politik yang
melatar belakangi terbentuknya Daulah Umayyah. Kaum syi`ah dan khawarij terus
berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam
keutuhan kekuasaan Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa
akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut
kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin
umat.
Dari penjelasan di atas dapat saya
simpulkan bahwa faktor-faktor keruntuhan dinasti Bani Umayyah secara umum ada
dua yaitu:
a. Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat
berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah
yang sangat luas tidak dibaringi dengan komunikasi yang baik, sehingga
menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh
pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin.
Diantara khalifah-khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap,
kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara
mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama
gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya. Situasi semacam ini pun
mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang
sudah berani korup dan mengendalikan negara.
b. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi
meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan
kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang
memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut
mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa
pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas
mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan
Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah
Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti
Umayah. Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah
semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamasikan berdirinya pemerintah
Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu
dibunuh. Setelah dibunuh, pemimpin gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya
bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya
menuju Kuffah. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum
khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu[6].
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan
untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin
tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur
dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan
Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Sepeninggal Marwan, maka benteng
terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar
yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai
setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu
lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang
akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh As-Saffah
sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah
meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada As-Saffah
yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para
pengikutnya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti umayyah diambil dari nama
Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis
semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian
berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan Ibn Ali yang diangkat oleh kaum
muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Mu’awiyah setelah melakukan
perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan
pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Pemilihan khalifah dilakukan
dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika
menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada
tahun 679 M,yang kemudian diikuti oleh dinasti-dinasti besar islam yaitu
dinasti Abbasyiah.
Kemajuan dinasti Umayyah
dilakukan dengan ekspansi,sehingga menjadi negara islam yang besar luas serta
sangat memperhatikan kemajuan pembangunan. Pada masa pemerintahan Al-walid Ibn
Abdul Malik,ekspansi kebarat dilakukan secara besar-besaran,dan pada masa itu
dikenal dengan masa ketentraman,kemakmuran dan ketertiban. Pada masa itulah
disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan memberikan baris dan titik pada
huruf-hurufnya.
Kekuasaan Daulah Bani Umayyah
mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor yang sangat berpengaruh yaitu
faktor internal dan eksternal.
B. Saran
Dari pembahasan makalah diatas kami
mangharapkan kritik dan saran dari pembaca sangatlah di perlukan,guna untuk
perbaikan dan penyempurnaan tugas pada masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSATAKA
al-Usairy, Ahmad. 2007. Sejarah Islam.
Jakarta:Akbar.
Bisri, M. Jaelani. 2007. Ensiklopedi Islam .
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Murodi. 2004. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang:
Karya Toha Putra.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah.html, diakses
tanggal 5 Nopember 2012.
[2]http://mtsbahrululumawipari.wordpress.com/2010/04/21/dinasti-bani-umayah/18:51,
sabtu 05 november2012
No comments:
Post a Comment