Monday, May 26, 2014

Metode Tafsir Ijmali dan Tahlili



A.    Pendahuluan

Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan tafsir. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodohos yang berarti cara atau jalan.[1]Dalam bahasa inggris disebut method, sedang bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj.Sedangkan kata logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga pembentukan dari kata-kata tersebut berarti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk mencapai tujuan (ilmu pengetahuan).
Adapun Term tafsir, mempunyai dua pengertian, yaitu:
  • Pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan (berhubungan)  dengan kandungan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya.
  • Kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hukum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka isitilah metodologi tafsir berarti kerangka, kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumber penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Metodologi tafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang mendasarinya.  Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, metodologi tafsir terbagi menjadi dua, yaitu:
  • Sistematika tartib mushafiy, yaitu sistematika penyusunan tafsir al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan surat dan ayat dalam mushaf.
  • Sistematika tartib nuzuliy, yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan kronologis turunnya surat-surat al-Qur’an. Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika penyusunan penyusunan al-Qur’an dengan berdasarkan tema atau topik permasalahan yang akan dibahas.








B.     Pembahasan

A.    Pengertian Tafsir Ijmali
Tafsir ijmali terdiri dari dua kata yaitu tafsir dan ijmali.Yang dimaksud dengan tafsir disini adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an, ijmali berarti global, singkat.Secara etimologi tafsir berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakka, atau menerangkan makna yang abstrak.[2]
Yang dimaksud dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer mudah dimengerti dan enak dibaca.[3]  Quraish Shihab mengungkapkan bahwa metode ijmali yang mengajarkan; penafsiran secara global dan singkat sehingga terasa pembacanya bagai tetap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Qur’an.[4]Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa metode ijmali  ini adalah penafsira terhadap ayat-ayat al-Qur’an secara singkat. Sistematik penulisannya meneliti ayat-ayat didalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pandangan dan pembacanya seakan akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu adalah tafsirnya.
Nabi dan para Sahabat menafsirkan al-Qur’an secara ijmali, tidak memberikan uraian yang memadai karenanya didalam tafsir mereka pada umumnyaakan menemukan uraian yang detail. Karena itu tetaplah bila dikatakan bahasa metode ijmali  merupakan metode tafsir al-Qur’an yang mula-mula muncul, penamaan tafsir secara ringkas sebagai tafsir ijmali belum digunakan pada masa Nabi, Sahabat dan Tabiin. Namun metode ijmali muncul belakangan.M.Quraish Shihab mengatakan bahwa metode yang selama ini digunakan oleh para mufassir sejak masa kodefikasi oleh al-Faraw (w.207H) sampai tahun 1960 adalah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf al-Qur’an.Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh.[5]
Metode tafsir dimaksud termasuk didalamnya metode tafsir ijmali yang berarti bahwa metode ini paling tidak telah ada pada masa al-Farra.[6] Para mufassir menggunakan lafal-lafal bahasa yang mirip, bahkan sama dengan lafal al-Qur’an, pembaca akan merasakan bahwa uraian yang disajikan mufassir tidak jauh dari bahasa dan lafal al-Qur’an sendiri. Di samping ini, dengan gaya demikian, sangat terkesan bahwa al-Qur’an itu sendiri berbicara membuat makna-makna dan maksud ayat yang jelas, sehingga lafal-lafal al-Qur’an itu menjadi jelas dan mudah difahami.


Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan metode ini mufassir juga meneliti, mengkaji dan menjadikan asbab al-nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat,dengan cara meneliti hadis-hadis yang berhubungan dengannya, lebih lanjut Ahmad Akrom menegaskan kadang kala ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turun ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadis Rasulullah atau pendapat ulama salaf yang sah
1)      Karakteristik Metode Tafsir Ijmali
Ciri-ciri tafsir ijmali adalah;
·         Mufassir langsung menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat. Mulai dari surat al-fatihah sampai surat an-Nas tanpa perbandingan dan penetapan judul.
·         Mufassir tidak berpeluang mengemukakan ide-idenya dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, karena itulah kitab-kitab tafsir ijmali, tidak memberikan penafsiran terperinci melainkan sangat sederhana (ringkas dan umum) sehingga pembaca seolah-olah masih membaca al-Qur’an padahal yang dibaca adalah tafsirnya, sekalipun pada ayat-ayat tertentu diberi penafsiran agak luas namun tidak sampai memasuki wilayah tafsir tahlili.

2)      Kelebihan dan Kekurangannya
a.       Kelebiha Metode Ijmali :
·         Praktis dan mudah dipahami, maksudnya adalah mengungkapkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan gamblang, tidak berbelit-belit sehingga pembaca mudah menangkap pesan-pesan ayat.
·         Bersih (selamat) dari unsur israiliyat, singkat dan sederhananya penafsiran al-Qur’an melalui tafsir ijmali,mencerminkan penafsiran relatife lebih murni dan bersih dari pemikiran-pemikiran israiliyat yang kadang-kadang dapat merendahkan keagamaan.
·         Akrab dengan bahasa al-Qur’an, maksudnya adalah bahasa yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat singkat dan akrab dengan bahasa al-Qur’an. Hal ini dikarenakan si penafsir hanya menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan demikian si pembaca seolah-olah tidak merasa membaca sebuah tafsir.
b.      Kekurangan Metode Ijmali:
·         Menjadikan pesan (petunjuk) al-Qur’an bersifat persial. Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, ayat-ayatnya berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Ayat yang bersifat global dan kurang jelas, akan dijelaskan oleh ayat yang lain.
·         Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. Maksudnya adalah tidak memberikan ruangan untuk mengemukakan uraian yang lengkap berkenaan dengan pemahaman suatu ayat.



B.     Pengertian Tafsir Tahlili
Tafsir tahlili terdiri dari dua kata “tafsir” dan “tahlili”.Yang dimaksud dengan tafsir disini adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Secara etimologi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri, maupun ketika bersusun, serta hal-hal lain yang melangkapinya.[7]Sedangkan tahlili artinya mengurai.
Secara etimologi tafsir tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan-urutannya di dalam mushaf, melalui penafsiran kosa kata “ma’an al-mufradat” diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat, munasabah (keterkaitan) ayat dengan ayat serta menjelaskan hubunga maksud ayat-ayat, sebab turunnya suatu ayat, dan dalil-dalil.[8]
Baqir al-Shadr menamakan metode tahlili dengan metode tazji’i, yaitu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperlihatkan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.[9]
1.)    Kelebihan dan kekurangan
Ada beberapa kelebihan dari metode tahlili antara lain :
·         Adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat, syair-syair kuno, dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.
·         Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir pada setiap saat.
·         Pemahaman ayat dapat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian/kemampuan, serta kecendrungan mufassir.[10]

2.)    Adapun kelemahan tafsir tahlili antara lain :
·         Tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena sering kali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
·         Para penafsiran yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.
·         Tidak memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak member pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.[11]
·         Metodologi Tafsir Tahlili

3.)    Ada lima langkah metodologi tafsir tahlili yaitu;
·         Urutan –urutan ayat berdasarkan mushaf. Mengenai tertib ayat dalam al-Qur’an adalah berdasarkan tauqifi. Ini terbukti ketika Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah, yang menyuruhnya menempatkan ke 90 dalam surah an-Nahl.[12]
·         Menafsirkan kosa kata ayat. Dalam memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, terlebih dahulu diteliti pengertian yang dikandung oleh kata tersebut, kemudian baru menetapkan arti yang tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat bergantung atau bertempat.[13]
·         Menjelaskan munasabah ayat

Untuk mengetahui adanya munasabah, dapat ditempuh dengan tiga cara yaitu:
        i.            Dari segi lafal, yang terkandung melalui kata penghubung “    ”, dengan pengulangan atau penjelasan. Contohnya surat al-Maidah ayat 118



bÎ)öNåkö5Éjyèè?öNåk¨XÎ*sùx8ߊ$t6Ïã(bÎ)uröÏÿøós?öNßgs9y7¯RÎ*sù|MRr&âƒÍyèø9$#ÞOŠÅ3ptø:$#ÇÊÊÑÈ.

“jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dan surah al-Fatihah ayat 6-7.
$tRÏ÷d$#xÞºuŽÅ_Ç9$#tLìÉ)tGó¡ßJø9$#ÇÏÈxÞºuŽÅÀtûïÏ%©!$#|MôJyè÷Rr&öNÎgøn=tãÎŽöxîÅUqàÒøóyJø9$#óOÎgøn=tæŸwurtûüÏj9!$žÒ9$#ÇÐÈ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan(pula jalan) mereka yang sesat.



      ii.            Dari segi makna atau pesan yang terkandung dalam ayat. Contohnya surah al-Ghasiyah ayat 17-20.
Ÿxsùr&tbrãÝàYtƒn<Î)È@Î/M}$#y#øŸ2ôMs)Î=äzÇÊÐÈn<Î)urÏä!$uK¡¡9$#y#øŸ2ôMyèÏùâÇÊÑÈn<Î)urÉA$t6Ågø:$#y#øx.ôMt6ÅÁçRÇÊÒÈn<Î)urÇÚöF{$#y#øx.ôMysÏÜßÇËÉÈ
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditingggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditengakkan?”
    iii.            Dari segi asbab al-nuzul, contohnya suratal-Baqarah ayat 26.
·         Menjelaskan asbab an-nuzul
Sebagai contoh turunnya surat an-Nisa’ ayat 42. Menurut riwayat  Abu DAud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I dan al-Hakim, yang bersumber dari Ali dimana Ali berkata :  Abdurrahman bin ‘Auf membuat makanan untuk kami (Ali dan kawan-kawan). Lalu diundanglah kami, yang dihidangkan diantaranya khamar (arak dan minuman keras), maka terganggulah pikiran kami.Sewaktu datang waktu shalat orang-orang memilih Ali menjadi imam.Lalu ali membaca surat al-Kafirun dengan keliru.Yang dibacanya adalah



Maka turunlah surat an-Nisa’ ayat 42 yang berbunyi:
7ͳtBöqtƒŠuqtƒz`ƒÏ%©!$#(#rãxÿx.(#âq|ÁtãurtAqß§9$#öqs93§q|¡è?ãNÍkÍ5ÞÚöF{$#ŸwurtbqßJçFõ3tƒ©!$#$ZVƒÏtnÇÍËÈ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan …”.
·         Dalil-dalil
Dalam hal penggunaan dalil-dalil ini sama seperti tafsir bil ma’tsur, yaitu berdasarkan hadis dari Rasul, sahabat dan tabi’in. kemudian penggunaan dalil-dalil ini ada kecenderungan penafsiran sesuai latar belakang para mifassir.




C.    Kesimpulan
Secaraetimologi tafsir berarti pengungkapan, penjelasan dan penjabaran.Sedangkan, menurut terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau penjelasan lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Kata ‘metode’ berasal dari bahasa yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan”. Di dalam bahasa inggris kata ini ditulis ‘method’ dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan “tharîqat̠” dan “manhaj”. Pengertian ‘metode’ yang umum itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik.Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Adapun metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode menafsirkan al-Qur’an.Metodologi tafsir sangat banyak, tapi kami membahas hanya dua yaitu metode tahlili (analitis) dan ijmali (global).ijmali berarti global, singkat. Secara etimologi tafsir berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakka, atau menerangkan makna yang abstrak. Tafsir tahlili terdiri dari dua kata “tafsir” dan “tahlili”. Yang dimaksud dengan tafsir disini adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Secara etimologi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri, maupun ketika bersusun, serta hal-hal lain yang melangkapinya. Sedangkan tahlili artinya mengurai.














Daftar pustaka
Aida, Asnil Ritonga, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.Citapustaka Media Perintis:Bandung.2009
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an.Pustaka Pelajar:Yogyakarta.2002




[1]Faud Hassan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metologi Ilmiah”, di dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, red. Koentjaraningrat, Jakarta, Gramedia, 1977, h.16.
[2]Lois Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut, Dar al-Masyrik, 1973, hlm.583
[3]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2000, hlm. 13
[4]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-karim, Tafsir atau Surat-Surat Pendek, Jakarta, Pustaka Budaya, 1997, hlm. v
[5]ibid
[6]Nashruddin Baidan, op.Cit., hlm.13
[7]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt., hlm. 456
[8]Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidayat fi Tafsir al-Maudhu’i, Dirasat Manhajiyat Maudhu’iyat, 1976, hlm. 18
[9]ibid
[10]Syahrin Harahap, Upaya Memahami Kandungan al-Qur’an, dalam Islam Dinamis, hlm.50
[11]ibid
[12]Subhi al-Shalih, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Ilmi lil Malayin, 1988, hlm.70
[13]ibid

No comments:

Post a Comment