Bab 1
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Setiap dalam pembagian hadits ada terbagi tiga juga yaitu dari segi
jumlah sanadnya, dari segi kualitas sanadnya, dari segi sumber penyandarannya.
Manusia harus lah mengetahui latar belakang pembagian hadits agar ia dapat
menjalankan kehidupannya dengan hadits-hadits yang telah dia ketahui,maka dari
itu kita harus bisa mempelajari,mengahafal, serta menguasainya, agar kita dapat
mengetahuinya dan dapat menjalankannya dalam kehidupan kita.
Dalam kehidupan kita ini belum banyak orang islam yang mengetahui
hadits,sehingga dalam kehidupannya ia tidak bisa menjalankan perilakunya
seperti hadits, maka dari itu kita harus lah mengetahuinya. Dalam hal makalah
kita hari ini kita akan membahas pembagian hadits.
Marilah kita dengarkan pembahasan makalah kita hari ini....!!!!
Rumusan masalah:
·
Pembagian
dari segi jumlah sanadnya(Mutawatir, masyhur,ahad)
·
Pembagian
dari segi kualitas sanadnya
·
Pembgian
dari segi sumber penyandarannya
Bab 2
Pembahasan
PEMBAGIAN
HADITS
A.
DARI SEGI KUANTITAS
Sekalipun
para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits dari sudut kuantitas atau
jumlah rawi, namun dalam tulisan ini kita membaginya menjadi dua yaitu hadits
mutawatir dan ahad.[1]
1.
Hadits Mutawatir
a.
Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa ialah mutabi’ , yaitu yang datang berturut-turut,tidak ada jarak.
Sedangkan pengertian hadits mutawatir secara terminologi adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak ,yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta.”[2]
Menurut defenisi
lain disebutkan:” Hadits yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan
rawi-rawinya,serta pada adat mustahil mereka itu dapat berkumpul menjadi
satu,untuk berdusta mengadakan hadits
itu.”[3]
Berdasarkan
defenisi diatas dapat diketahui bahwa
terdapat tiga syarat yang dikaterigorikan Mutawatir ,yaitu:
·
Mesti
banyak sanadnya,
·
Mesti
banyak rawinya dari permulaan sanad sampai akhir sanad,dan
·
Menurut
pertimbangan akal atau adat ,rawi-rawi itu tidak mungkin berkumpul [4]bersama
melakukan kesepakatan untuk berdusta.
b.
Pemabagian Hdits Mutawatir
Hadits Mutawatir terbagi dua,yaitu Mutawatir lafzi dan mutawatir
ma’nawi.
1.
Mutawatir lafzi
Yang
dimaksud dengan mutawatir lafzi ialah:” Hadits yang sama bunyi lafaz
perawi-perawinya,baik lafaz yang satu ataupun lafaz yang lain yang semakna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.”[5]
Diantara contoh
mutawatir lafzi adalah:
من كـذ ب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه الجماعة)
Artinya:”Siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku,hendaklah
ia menempati tempat duduknya dalam neraka.”
Menurut Abu Bakar
al-Bazzar,Hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang.Sementara al-Nawawi, Menyatakan
bahwa Hadits diatas diterima dari 200 sahabat.
Contoh lain adalah:
إنّ القرآن أنزل على سبعة أحرف (رواه السائ)
Artinya: “Sesungguhnya al-qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.”
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخارى)
Artinya:” tiap-tiap minuman yang memabukkan adalah haram.”
2.
Mutawatir ma’nawi
Yang dimaksud dengan mutawatir ma’nawi ialah” Hadits yang berlainan
bunyi dan maknanya,tetapi kembali pada satu makna yang umum.”[6]
Contoh hadits mutawatir
ma’nawi ini adalah seperti shalat maghrib 3 rakaat ,melempar jumrah, melakuakan
sa’i antara safa dan marwa,dan
lain-lain.
c.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir
Memfaedahkan ilmu qot’i(keyakinan yang kuat). Ia memberikan faedah ilmu daruri,
yaitu suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya.
2.
Hadits ahad
a.
Pengertian hadits ahad
Hadits ahad ialah”Hadits
yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir”. [7]Ulama
lain mendefenisikannya. Dengan ,” hadits yang sanadnya sahih dan bersambung
hingga sampai kepada sumbernya(nabi saw),tetapi kandungannya memberikan
pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i atau yakin”.
Dari dua defenisi diatas
ada dua hal yang harus digaris bawahi,yatu : (1) Dari sudut kuantitas
perawinya,hadits ahad berada dibawah kuantitas hadits mutawatir,(2) Dari Sudut
isinya ,hadits ahad memberikan faedah zanni ,bukan qat’i,kedua hal inilah yang
membedakannya dengan hadits mutawatir.
Dengan demikian ,semua
hadits yang jumlah perawi yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir disebut hadits ahad.Baik pewrawi itu seorang,dua orang ,tiga
orang,empat orang dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian dengan jumlah
tersebut masuk kedalam hadits mutawatir,baik bilangan –bilangan tersebut
terdapat pada semua
generasi/tabaqatnya maupun dari sebagian tabaqatnya saja.
Pada garis besarnya ,ulama hadits membagi hadits ahad menjadi dua,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Dan ghairu masyhur terbagi lagi menjadi
dua yaitu Aziz dan gharib.
b.
Pembagian Hadits Ahad
1)
Hadits Masyhur
Hadits masyhur
ialah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ,tapi blangannya tidak sampai
ukuran bilangan mutawatir,kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian
pula setelah mereka.[8]
Defenisi lain dari
hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau
lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits masyhur
tentu saja ada yang bernilai shahih ,hasan,dan ada pula yang bernilai dha’if,
karena nilai dari suatu hadits tidak hanya didasarkan oleh jumlah perawi yang
meriwayatkan.
2.)
Hadits Aziz
Menurut bahasa ,Aziz adalah sama dengan as-syarif atau al-qawiyyu
yaitu yang mulia atau yang kuat. Sedangkan menurut terminologinya ,Hadits aziz
ialah “Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi diterima dari
dua orang pula.”[9]
Dengan defenisi diatas berarti diantara tabaqat dapat
lebih dari dua orang,umpamanya tiga orang,yang banyak dipakai sebagi contoh
dari hadits azizialah berikut ini:
لا يؤ من أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده والناس اجمعين(رواه
البخارى)
Artinya:”Tidak
beriman seseorang diantara kamu , hingga aku(Rasul) lebih dicintainya dari pada
dirinya ,ayahnya,anaknya,dan manusia seluruhnya.”
3.
Hadits Gharib
Secara terminologi hadits
gharib ialah hadoits yang sendirian saja seorang perawi dalam
meriwayatkan dan kesendiriannya ituterletak dimana saja didalam sanad.[10]
Dinamakan dia
dengan gharib ialah karena dia sama dengan orang yang dalam perantauan ,seorang
diri, tidak mempunyai keluarga. Hadits gharib mempunyai beberapa nilai yaitu:
-
Shaih,
jika perawinya dhabit yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih
kuat dari padanya.
-
Hasan,
yaitu jika dia mendekati derajat yang diatas dan tidak ditentang oleh orang
yang lebih rajih dari padanya
-
Matruk,
jika ia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang orang lain.
Dengan demikian, terbagilah hadits gharib kepada tiga bagian
,yaitu:
a.
Gharib
shahih, yaitu segala hadits gharib yang terdapat dalam shahih bukhari muslim.
b.
Gharib
hasan ,yaitu hadits yan kebanyakan terdapat dalam sunan tirmizi.
c.
Garib
Dha’if,yaitu hadits yang banyak terdapat dalam sunan-sunan dan dalam
musnad-musnad.
B.
Hadits Berdasarkan
kualitasnya
Pada
garis besarnya ,hadits hadits ahad dari sudut kualitasnya terbagi kepada dua
,yaitu: (1) hadits ahad yang maqbul, dan(2) hadits ahad yang mardud.
1.
Hadits ahad yang Maqbul
Hadits ahad yang maqbul berarti ,hadits yang
diambil , yang diterima ,atau yang dibenarkan ; dengan kata lain , hadits yang
telah sempurna pada syarat-syarat penerimaan. Suatu hadits yang maqbul
berkaitan dengan sanadnya ,yaitu sanadnya yang bersambung , diriwayatkan oleh
rawi yang adil lagi dhabit,dan juga berkaitan dengan matannya, yaitu matannya
tidak syaz dan tidak ber’illat.
Dalam pada itu ,tidak
semua hadits yang maqbul boleh diamalkan ,akan tetapi ada juga yang tidak boleh
diamalkan.Dengan kata lain ,hadits
maqbul,ada yang ma’mulbih dan ada yang
ghairu ma’mulbih.
2.
hadits ahad yang mardud
secara terminologi,hadits mardud
didefenisikan dengan :”hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarathadits maqbul.”[11]
C. DARI SEGI
KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi
rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan
(kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan
tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan
keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih
tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan
hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi
jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang
pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata
(dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir
sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut
adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang
demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata
(dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan
perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para
sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan
demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal,
seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan
pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu
separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal
bukan berita.
Bila dua hadis memiliki
rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau
tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar
atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi
tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah
tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan
tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan
suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum
atau sumber Islam.
D.
PEMBAGIAN HADITS MENURUT
SANDARANNYA
Hadits menurut sandarannya
terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi
menjadi empat macam, yaitu :
1.HaditsQudsi
2.HaditsMarfu’
3.HaditsMauquf
4. Hadits Maqthu’
2.HaditsMarfu’
3.HaditsMauquf
4. Hadits Maqthu’
1. HADITS QUDSI
Definisi
Qusi menurut bahasa dinisbatkan
pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya
pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut
istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Bentuk-Bentuk
Periwayatan
Ada
dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa
jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar
radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang
diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku,
sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku
haramkan pula untuk kalian. Maka
janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia
mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan Antara Hadits
Qudsi dengan Al-Qur’an
1. Al-Qur’an itu lafadhdan
maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2. Membaca Al-Qur’an termasuk
ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk
ibadah dan tidak mendapat pahala.
3. Disyaratkan mutawatir dalam
periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan
mutawatir.
Perbedaan Antara Hadits
Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits Nabawi disandarkan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan
hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat
dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi
karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi
disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Qudsi jumlahnya sedikit.
Buku yang terkenal mengenai hal ini adalah [I[Al-Ittihafaat As-Sunniyyah
bil-Hadiits Al-Qudsiyyah[/I] karya Abdur-Ra’uf Al-Munawi (103 H) yang berisi
272 hadits.
2. HADITS MARFU’
Definisi
Al-Marfu’ menurut bahasa
merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia
kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah
adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat
yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat
jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang
menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil
(bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Macam-Macamnya
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu :
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari
yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih
(tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya
adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan
marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya
1. Perkataan yang marfu’ tashrih
: seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
2. Perkataan yang marfu’ secara
hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita
Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal
penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah
yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan
diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”;
atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan
begini”.
3. Perbuatan yang marfu’ tashrih
: seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
4. Perbuatan yang marfu’ secara
hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya
dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata
(melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud.
Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km).
Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km).
5. Penetapan (taqrir)
yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan
demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan
telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
6. Penetapan yang marfu’ secara
hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada
jamana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
7. Sifat yang marfu’ tashrih :
seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu
‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula
pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah,
peramah, dan lemah lembut”.
8. Sifat yang marfu’ secara
hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah
diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan.
Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah
sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang
menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan
sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi,
meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
3. HADITS MAUQUF
Definisi
Al-Mauquf berasal dari
kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan
sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut
istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik
yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya
1. Mauquf Qauli
(perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi
Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka
ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2. Mauquf Fi’li
(perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam
sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3. Mauquf Taqriry :
seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di depan
seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang
shahih, hasan, atau dha’if. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh
dipakai berhujjah dalam agama.
4. HADITS MAQTHU’
Definisi
Al-Maqthu’ artinya yang
diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah adalah :
“perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di
bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara Hadits Maqthu’
dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan,
sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu
merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya
bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan
tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti
Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’
yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak populer. Hal
tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits,
kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli
(yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di
belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li
(yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir,”Adalah
Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi
shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
Tempat-Tempat yang
Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’
Kebanyakan ditemukan hadits mauquf
dan maqthu’ dalam :
1.MushannafIbnuAbiSyaibah.
2.MushannafAbdurrazzaq.
3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.
2.MushannafAbdurrazzaq.
3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.
JenisHadisBerdasarkanSumbernya
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi danhadisnabawi(Nabi).
Hadis qudsi, yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis Rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi (Nabi), yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hadis qudsi juga berbeda dengan Al-Qur’an. Perbedaannya antara lain:
(1) lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT;
(2) Al-Qur’an mengandung mukjizat;
3) membaca Al-Qur’an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudsi tidak termasuk ibadah
(4) Al-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang ber-hadas, sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang-orang yang punya hadas;
(5) periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan mak-nanya saja, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
(6) Al-Qur’an harus dibaca di waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca di waktu salat;
(7) semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata-kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.
Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku-buku hadis, tetapi merupakan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan selainnya. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idafat at-Taniyyah fi al-Ahadis al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis-Hadis Qudsi), yang dibuat oleh Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada tahun 1905. Kitab ini memuat 858 hadis yangdibagipadatigakelompok,yaitu:
(1)yangdimulaidengankataqala(berkata),
(2)yangdimulaidengankatayaqulu(dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad. Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan dari mana setiap hadis yang dimuatnya.
Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun oleh Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Himpunan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke dalam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis. Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muhammad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).
Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi ialah segala hadis yang berpautan dengan zat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Contoh hadis qudsi adalah sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menyebut (mengingat)-Ku” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dibandingkan dengan hadis qudsi, hadis nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi danhadisnabawi(Nabi).
Hadis qudsi, yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis Rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi (Nabi), yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hadis qudsi juga berbeda dengan Al-Qur’an. Perbedaannya antara lain:
(1) lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT;
(2) Al-Qur’an mengandung mukjizat;
3) membaca Al-Qur’an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudsi tidak termasuk ibadah
(4) Al-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang ber-hadas, sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang-orang yang punya hadas;
(5) periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan mak-nanya saja, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
(6) Al-Qur’an harus dibaca di waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca di waktu salat;
(7) semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata-kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.
Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku-buku hadis, tetapi merupakan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan selainnya. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idafat at-Taniyyah fi al-Ahadis al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis-Hadis Qudsi), yang dibuat oleh Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada tahun 1905. Kitab ini memuat 858 hadis yangdibagipadatigakelompok,yaitu:
(1)yangdimulaidengankataqala(berkata),
(2)yangdimulaidengankatayaqulu(dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad. Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan dari mana setiap hadis yang dimuatnya.
Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun oleh Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Himpunan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke dalam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis. Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muhammad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).
Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi ialah segala hadis yang berpautan dengan zat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Contoh hadis qudsi adalah sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menyebut (mengingat)-Ku” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dibandingkan dengan hadis qudsi, hadis nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.
Bab 3
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya pembagian hadits
itu sangatlah penting untuk kita
ketahui,apalagi dalam kehidupan kita ini, jadi ketika kita ditanya oleh orang
kita bisa tahu. Jadi , pembagian hadits itu terbagi oleh tiga macam lagi yaitu
dari segi jumlah sanad ,dari segi kualitas sanadnya,dan dari segi sumber
penyandarannya.
Daftar Pustaka
Al-Suyuti,Jalaludin, Tanwir al-hawalih.beirut: Dar-al-fikr.1984.
Al-tahhan,Mahmud.usul al-takhrij wa Dirosah al-asanid.
Riyad:al-rusyd.1983
Khadijah,H.kifrawi,dan azhar//kitab ulumul hadits//diterbitkan oleh
perdana publishing
[1] Hasbi
ash-shiddeqi, pokok-pokok dalam ilmu dirayah hadits(jakarta:bulan
bintang,1976),h.56
[5] Hasbi
as-shiddeqi,pokok-pokok dalam ilmu dirayah hadits ibid.h.60.
[6] Ibid.h.63
[7] Mahmud
al-tahhan, ushul al-takhrij wa dirosah al-asanid(riyad:al-rusyd.1983),h.22
[8] Ajaj al-khatib
,usul....,ibid.h. 302.b
[9]
Al-asqalani,Nuhbahal-fiqri(beirut:darkutub.1934),h.32
[10] Ibid .h.36.
[11] Ajaj
al-khatib,ushul....,ibid.h.303.
No comments:
Post a Comment