Saturday, January 11, 2014

PEMBAGIAN HADITS



Bab 1
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Setiap dalam pembagian hadits ada terbagi tiga juga yaitu dari segi jumlah sanadnya, dari segi kualitas sanadnya, dari segi sumber penyandarannya. Manusia harus lah mengetahui latar belakang pembagian hadits agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan hadits-hadits yang telah dia ketahui,maka dari itu kita harus bisa mempelajari,mengahafal, serta menguasainya, agar kita dapat mengetahuinya dan dapat menjalankannya dalam kehidupan kita.
Dalam kehidupan kita ini belum banyak orang islam yang mengetahui hadits,sehingga dalam kehidupannya ia tidak bisa menjalankan perilakunya seperti hadits, maka dari itu kita harus lah mengetahuinya. Dalam hal makalah kita hari ini kita akan membahas pembagian hadits.
Marilah kita dengarkan pembahasan makalah kita hari ini....!!!!
Rumusan masalah:
·         Pembagian dari segi jumlah sanadnya(Mutawatir, masyhur,ahad)
·         Pembagian dari segi kualitas sanadnya
·         Pembgian dari segi sumber penyandarannya

Bab 2
Pembahasan
PEMBAGIAN HADITS
A.    DARI SEGI KUANTITAS
            Sekalipun para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits dari sudut kuantitas atau jumlah rawi, namun dalam tulisan ini kita membaginya menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan ahad.[1]
1.      Hadits Mutawatir
a.      Pengertian Hadits Mutawatir
            Mutawatir menurut bahasa ialah mutabi’ , yaitu yang datang berturut-turut,tidak ada jarak. Sedangkan pengertian hadits mutawatir secara terminologi adalah “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak ,yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.”[2]
            Menurut defenisi lain disebutkan:” Hadits yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya,serta pada adat mustahil mereka itu dapat berkumpul menjadi satu,untuk berdusta mengadakan  hadits itu.”[3]
            Berdasarkan defenisi  diatas dapat diketahui bahwa terdapat tiga syarat yang dikaterigorikan Mutawatir ,yaitu:
·         Mesti banyak sanadnya,
·         Mesti banyak rawinya dari permulaan sanad sampai akhir sanad,dan
·         Menurut pertimbangan akal atau adat ,rawi-rawi itu tidak mungkin berkumpul [4]bersama melakukan kesepakatan untuk berdusta.
b.      Pemabagian Hdits Mutawatir
Hadits Mutawatir terbagi dua,yaitu Mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi.
1.      Mutawatir lafzi
            Yang dimaksud dengan mutawatir lafzi ialah:” Hadits yang sama bunyi lafaz perawi-perawinya,baik lafaz yang satu ataupun lafaz yang lain yang semakna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.”[5]
      Diantara contoh mutawatir lafzi adalah:
من كـذ ب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه الجماعة)
Artinya:”Siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku,hendaklah ia menempati tempat duduknya dalam neraka.”
      Menurut Abu Bakar al-Bazzar,Hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang.Sementara al-Nawawi, Menyatakan bahwa Hadits diatas diterima dari 200 sahabat.
      Contoh lain adalah:
إنّ القرآن أنزل على سبعة أحرف (رواه السائ)
Artinya: “Sesungguhnya al-qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.”
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخارى)
Artinya:” tiap-tiap minuman yang memabukkan adalah haram.”
2.      Mutawatir ma’nawi
Yang dimaksud dengan mutawatir ma’nawi ialah” Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya,tetapi kembali pada satu makna yang umum.”[6]
      Contoh hadits mutawatir ma’nawi ini adalah seperti shalat maghrib 3 rakaat ,melempar jumrah, melakuakan sa’i  antara safa dan marwa,dan lain-lain.
c.       Faedah Hadits Mutawatir
            Hadits Mutawatir Memfaedahkan ilmu qot’i(keyakinan yang kuat). Ia memberikan faedah ilmu daruri, yaitu suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya.
2.      Hadits  ahad
a.      Pengertian hadits ahad
    Hadits ahad ialah”Hadits yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir”. [7]Ulama lain mendefenisikannya. Dengan ,” hadits yang sanadnya sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya(nabi saw),tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i atau yakin”.
    Dari dua defenisi diatas ada dua hal yang harus digaris bawahi,yatu : (1) Dari sudut kuantitas perawinya,hadits ahad berada dibawah kuantitas hadits mutawatir,(2) Dari Sudut isinya ,hadits ahad memberikan faedah zanni ,bukan qat’i,kedua hal inilah yang membedakannya dengan hadits mutawatir.
    Dengan demikian ,semua hadits yang jumlah perawi yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir disebut hadits ahad.Baik pewrawi itu seorang,dua orang ,tiga orang,empat orang dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian dengan jumlah tersebut masuk kedalam hadits mutawatir,baik bilangan –bilangan tersebut terdapat pada semua
generasi/tabaqatnya maupun dari sebagian tabaqatnya saja.
Pada garis besarnya ,ulama hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Dan ghairu masyhur terbagi lagi menjadi dua  yaitu Aziz dan gharib.
b.      Pembagian Hadits Ahad
1)      Hadits Masyhur
            Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ,tapi blangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir,kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.[8]
            Defenisi lain dari hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
            Hadits masyhur tentu saja ada yang bernilai shahih ,hasan,dan ada pula yang bernilai dha’if, karena nilai dari suatu hadits tidak hanya didasarkan oleh jumlah perawi yang meriwayatkan.
2.)     Hadits Aziz
Menurut bahasa ,Aziz adalah sama dengan as-syarif atau al-qawiyyu yaitu yang mulia atau yang kuat. Sedangkan menurut terminologinya ,Hadits aziz ialah “Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi diterima dari dua orang pula.”[9]
            Dengan defenisi diatas berarti diantara tabaqat dapat lebih dari dua orang,umpamanya tiga orang,yang banyak dipakai sebagi contoh dari hadits azizialah berikut ini:
لا يؤ من أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده والناس اجمعين(رواه البخارى)
Artinya:”Tidak beriman seseorang diantara kamu , hingga aku(Rasul) lebih dicintainya dari pada dirinya ,ayahnya,anaknya,dan manusia seluruhnya.”

           

3.       Hadits Gharib
Secara terminologi hadits  gharib ialah hadoits yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan kesendiriannya ituterletak dimana saja didalam sanad.[10]
            Dinamakan dia dengan gharib ialah karena dia sama dengan orang yang dalam perantauan ,seorang diri, tidak mempunyai keluarga. Hadits gharib mempunyai beberapa nilai yaitu:
-          Shaih, jika perawinya dhabit yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih kuat dari padanya.
-          Hasan, yaitu jika dia mendekati derajat yang diatas dan tidak ditentang oleh orang yang lebih rajih dari padanya
-          Matruk, jika ia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang orang lain.

Dengan demikian, terbagilah hadits gharib kepada tiga bagian ,yaitu:
a.       Gharib shahih, yaitu segala hadits gharib yang terdapat dalam shahih bukhari muslim.
b.      Gharib hasan ,yaitu hadits yan kebanyakan terdapat dalam sunan tirmizi.
c.       Garib Dha’if,yaitu hadits yang banyak terdapat dalam sunan-sunan dan dalam musnad-musnad.
B.      Hadits Berdasarkan kualitasnya
            Pada garis besarnya ,hadits hadits ahad dari sudut kualitasnya terbagi kepada dua ,yaitu: (1) hadits ahad yang maqbul, dan(2) hadits ahad yang mardud.

1.      Hadits ahad yang Maqbul
       Hadits ahad yang maqbul berarti ,hadits yang diambil , yang diterima ,atau yang dibenarkan ; dengan kata lain , hadits yang telah sempurna pada syarat-syarat penerimaan. Suatu hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya ,yaitu sanadnya yang bersambung , diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit,dan juga berkaitan dengan matannya, yaitu matannya tidak syaz dan tidak ber’illat.
      Dalam pada itu ,tidak semua hadits yang maqbul boleh diamalkan ,akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan.Dengan kata lain  ,hadits maqbul,ada yang ma’mulbih  dan ada yang ghairu ma’mulbih.
2.      hadits ahad yang mardud
                    secara terminologi,hadits mardud didefenisikan dengan :”hadits yang tidak      memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarathadits maqbul.”[11]
C.       DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

D.    PEMBAGIAN HADITS MENURUT SANDARANNYA
Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu :
1.HaditsQudsi
2.HaditsMarfu’
3.HaditsMauquf
4. Hadits Maqthu’
1. HADITS QUDSI
Definisi
Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Bentuk-Bentuk Periwayatan
Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah taala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
1. Al-Qur’an itu lafadhdan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Qudsi jumlahnya sedikit. Buku yang terkenal mengenai hal ini adalah [I[Al-Ittihafaat As-Sunniyyah bil-Hadiits Al-Qudsiyyah[/I] karya Abdur-Ra’uf Al-Munawi (103 H) yang berisi 272 hadits.
2. HADITS MARFU’
Definisi
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Macam-Macamnya
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya
1. Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
2. Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
3. Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
4. Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud.
Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km).
5. Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
6. Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jamana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
7. Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
8. Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
3. HADITS MAUQUF
Definisi
Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya
1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2. Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3. Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dha’if. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.

4. HADITS MAQTHU’
Definisi
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
Tempat-Tempat yang Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’
Kebanyakan ditemukan hadits mauquf dan maqthu’ dalam :
1.MushannafIbnuAbiSyaibah.
2.MushannafAbdurrazzaq.
3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.

JenisHadisBerdasarkanSumbernya

Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi danhadisnabawi(Nabi).
Hadis qudsi, yang juga disebut de­ngan istilah hadis Ilahi atau hadis Rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya ke­pada Allah SWT. Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, hadis qudsi berbeda de­ngan hadis nabawi (Nabi), yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hadis qudsi juga berbeda dengan Al-Qur’an. Perbedaannya antara lain:
(1) lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT;
(2) Al-Qur’an mengandung
mukjizat;
3) membaca Al-Qur’an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudsi tidak termasuk ibadah
(4) Al-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang ber-
hadas, sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang-orang yang punya hadas;
(5) periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan mak-nanya saja, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
(6) Al-Qur’an harus dibaca di waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca di waktu salat;
(7) semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara
mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata-kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.

Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku-buku hadis, tetapi merupa­kan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan selainnya. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idafat at-Taniyyah fi al-Ahadis al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis-Hadis Qudsi), yang dibuat oleh Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada tahun 1905. Kitab ini memuat 858 hadis yangdibagipadatigakelompok,yaitu:
(1)yangdimulaidengankataqala(berkata),
(2)yangdimulaidengankatayaqulu(dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad. Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan dari mana setiap hadis yang dimuatnya.

Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya
Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun oleh Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Him­punan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke da­lam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis. Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muham­mad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).

Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi ialah segala hadis yang berpautan dengan zat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Contoh hadis qudsi ada­lah sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menyebut (mengingat)-Ku” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah).
Dibandingkan dengan hadis qudsi, hadis nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.


Bab 3
Kesimpulan
Dari  penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya pembagian hadits itu  sangatlah penting untuk kita ketahui,apalagi dalam kehidupan kita ini, jadi ketika kita ditanya oleh orang kita bisa tahu. Jadi , pembagian hadits itu terbagi oleh tiga macam lagi yaitu dari segi jumlah sanad ,dari segi kualitas sanadnya,dan dari segi sumber penyandarannya.











Daftar Pustaka

Al-Suyuti,Jalaludin, Tanwir al-hawalih.beirut: Dar-al-fikr.1984.
Al-tahhan,Mahmud.usul al-takhrij wa Dirosah al-asanid. Riyad:al-rusyd.1983
Khadijah,H.kifrawi,dan azhar//kitab ulumul hadits//diterbitkan oleh perdana publishing
Nawir Yuslim//kitab ulumul hadits//diterbitkan oleh PT.mutiara sumber widya


[1] Hasbi ash-shiddeqi, pokok-pokok dalam ilmu dirayah hadits(jakarta:bulan bintang,1976),h.56
                            [2]   Ajaj,al-khatib, ,ushul,h.301
                            [3] A.qadir hasan, ilmu mustalah hadits(bandung:diponegoro,1991). Hlm.43.

[5] Hasbi as-shiddeqi,pokok-pokok dalam ilmu dirayah hadits ibid.h.60.
[6] Ibid.h.63
[7] Mahmud al-tahhan, ushul al-takhrij wa dirosah al-asanid(riyad:al-rusyd.1983),h.22
[8] Ajaj al-khatib ,usul....,ibid.h. 302.b
[9] Al-asqalani,Nuhbahal-fiqri(beirut:darkutub.1934),h.32
[10]  Ibid .h.36.
[11] Ajaj al-khatib,ushul....,ibid.h.303.

No comments:

Post a Comment