Thursday, January 9, 2014

Syarat-syarat Perawi dan Transformasi Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Hadits merupakan salah satu sumber hukum islam. Hal ini tentunya menjadi salah satu hal yang mempengaruhi dan menentukan adanya hukum- hukum tertentu yang mungkin tidak kita temui dalam sumber hukum islam tertinggi, yakni Al-Qur’an.
Hadits adalah semua perkataan, perbuatan, dan juga ketetapan yang disandarkan kepada Rosulallah saw. Faktanya hadits tidaklah langsung disampaikan dari nabi langsung kepada perawi hadits tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadits sampai kepada perawi hadits melalui banyak cara yang dinamakan tahammul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari shahabat, tabi’in, itba’uttabiin, syaikh rawi dan akhirnya sampai pada  perawi.
Dalam makalah ini, bentuk-bentuk periwayatan hadits akan dibahas secara rinci. Kami juga akan membagi periwayatan itu menjadi dua, yaitu penyampaian hadits oleh Nabi saw, dan cara pengambilan hadits oleh para sahabat  dan generasi selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian transformasi hadits?
b.      Apa saja bentuk-bentuk transformasi hadits?
c.       Bagaimana bentuk-bentuk transformasi hadits pada masa Rosulallah saw. dan shahabat?
C.    Tujuan Penulisan Makalah
a.       Mengetahui penegrtian transformasi hadits secara umum.
b.      Mengetahui bentuk-bentuk transformasi hadits.
d.      Untuk mengetahui lebih dalam bentuk-bentuk transformasi hadits pada masa Rosulallah saw. dan shahabat.

BAB II
SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI
Rawi ialah orang yang menyampaikna atau menuliskan ealam suatu kitab apa-apa yang sudah pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya Ruwah dan perbuatannya menyampaikan.[1] Namun, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang rawi dalam menerima hadits, yaitu :
A.     Islam.
Periwayatan hadits dari orang kafir tidaklah bisa diterima. Bagaimana mungkin orang Islam menerima riwayat hadits dari musuhnya. Selain itu, Allah juga memerintahkan kepada kita untuk meneliti berita yang dibawa orang fasik dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[2]
B.     Baligh
Merupakan usia taklif. Karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bias diterima, sebagai implementasi atas sbda Rosulallah saw.
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرئ وعن اناءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم  (رواه ابو داود)
Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari oang yang tidur sampai terbangun, dari anak kecil sampai mimipi basah.
Dalam hadits ini, mimpi basah diidentikkan dengan usia baligh.



C.     Adil
            Adil merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya pada kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga menjauhi sebagian dosa kecil.
D.    Dhabith
Artinya, keterjagaan seorang perowi ketika menerima hadits, memahaminya ketika mendengarnya, dan menghafalnya sejak menerima hadits sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabith menakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan hadits, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, pengganian atau pengurangan, jika ia meriwayatkan dari tulisannya.















BAB III
TAHAMMUL WAL ADA’
A.    Pengertian Tahammul Wal Ada’
            Transformasi berasal dari bahasa Inggris transformation yang berarti peralihan. Dalam bahasa arab berarti tahammul  yang merupakan isim masdar dari kata tahammala, tahammulan yang secara etimologi berarti menerima, sedangkan menurut istilah tahammul adalah penjelasan mengenai cara-cara periwayat dalam mengambil atau menerima hadits dari gurunya.
            Selain kata tahammul dalam konteks transformasi hadits, adapula kata ada’ dimana dua kata ini saling berhubungan. Kata ada’ merupakan isim masdar dari adda, yuaddi, adaa, yang secara etimologis berarti menyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut istilah adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para periwayat hadits dari syaikh atau gurunya.
            Dari penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan tahammul wal ada’ atau yang kita sebut sebagai transformasi hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menerima atau mendapatkan dari syaikh dan bagaimana cara menyampaikannya dengan sighat-sighatnya yang tertentu.[3]
B.     Kelayakan Tahammul
Sebagian besar ahli hadits memprbolehkan kagiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mencapai usia taklif. Sedangkan sebagian mereka tidak memperbolehkannya.
Pendapat jumhurul ulama, itu diperkuat dengan kenyataan. Bahwa para sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat mereka masih berumur anak-anak. Seperti Hasan Husain, Abd Allah ibn Al-Zubair, Anas ibn Malik, dll tanpa memilah riwayat mereka sebelum dan sesudah usia baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil berbeda pendapat tentang usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyis dari anak kecil tersebut. Dan tamyis ini jelas berbeda antara masing-masing anak. Namun demikian, mereka menjelaskan tentang pendapat yang mereka sepakati, yaitu:
Pertama, batas usia seorang yang menerima hadits minimal adalah lima tahun. Alasannya, berdasarkan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Muhammad bin Rabi r.a., ia berkata “Aku masih ingat siraman Nabi saw. Dari timba ke mukaku, dan aku ketika itu masih berumur lima tahun.[4]
Kedua, al-Hafidz Musa ibn Harun berpendapat bahwa anak kecil yang melakukan kegiatan mendengar hadits itu sah apabila anak kecil tersebut sudah bias membedakan antara sapi dan kedelai.
Ketiga, anak kecil tersebut mampu memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.
C.  Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
a. As-Sima’, (السماع, mendengar)
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpen­dapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada ke­benaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني.
            Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian  حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah kata  menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata  حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena kata  bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Sedangkan kata أخبرني, حدثني  memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan   أخبرني, حدثني tersebut.[5]
b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh  (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’عرض القرأة  (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak sah. ‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [6]
c. Al-Ijazah  (الأجازة, sertifiksi atau rekomendasi)
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).[7]
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kri­teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-­Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan dela­pan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.


d. Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[8] Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-ri­wayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah. Al-­Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني  Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا  [9]
e. Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك [10]
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان
f. I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meri­wayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa keju­juran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayat­kannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqad­dimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
g. A I- Washiyyah (الوصيه)
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan  seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran me­tode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[11]
h. Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu­nakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi­fah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang ber­sangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayat­kan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian peri­wayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-­shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Ja­ngan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab. Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان    atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه


KESIMPULAN
Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
















[1] Ikhtisar Mushtalahul Hadits, hal 29
[2] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, 130-138
[3] Muhammad  Zunin علوم الحديث للفصل لاول"   8-10.
4Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, 134-138

[5] Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The Minangkabau Foundation, 2005)., h. 184
[6] Endang Soetari, op.cit. h. 186

[7] Mudasir, op.cit., h. 185
[8] Mudasir opcit, h. 185
[9] Endang Soetari op.cit, h.187
[10] Endang Soetari loc.cit
[11] Ibid 210

2 comments: