BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu
sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh
pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk
jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan
faham dan tokoh yang merintis jalan
tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai
Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik
menurutnya.
Mereka yang merupakan
tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah yang bermacam-macam,
ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Dzun an-Nun
al-Misri), al-fana dan
al-baqa (Abu yazid al-Bustami) dan al-hulul dan
al-Ittihad (Al-Halaj)
Adapun tokoh yang akan
penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi fenomenal dan controversial yang
memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi tujuan, berupa kedekatan atau
lebih khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah,
namun memiliki konsep yang berbeda. Abu Yazid
Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para
mistikus, karena yang
terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa. Di
dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta ajarannya yang sangat terkenal fana’
baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan dan
konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu
sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh banyak pengikutnya dari berbagai kalangan, serta penjelasan
tentang Hululnya.
Semoga
pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan wawasan terhadap
kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang ini, tidak dilihat dari sudut
pandang yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Dzun Nun al- Mishri
Dzun
Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama
lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di
Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246
H./856.
Julukan Dzun Nun diberikan
kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah
kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai
nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah
lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya.
Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.[1]
Dzun Nun disiksa dan
dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam
keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah ribuan ekor
ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih
besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu
permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia
digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.[2]
Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Adapun yang pernah
mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan
gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al Maghribi
sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim, baik dalam
ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzun Nun al Mishri adalah
orang pertama yang memberikan tafsiran tentang isyarat-isyarat tasawuf,
walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun Nun. Ia orang pertama Mesir yang
berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang yang pertama memberikan definisi
tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar
terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau
sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf
di dunia Islam.
v Al
Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri
Sebagaimana diketahui bahwa
Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat.
Walaupun paham ma’rifat
sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah yang lebih
menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena
berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang kemudian dianalisis oleh
Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi al Islam disimpulkan
bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat
dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan:[3]
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad.
Oleh karena itu dialah
orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.
B. Riwayat Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah
Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu
al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke
empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia
telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
Ajaran terpenting dari sufi
wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama
yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini
barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut
dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia
hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam
tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat
puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan
al-mahabbah:[4]
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta
kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia
mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah
telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai
tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat
mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk
mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi
mealui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna
segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam
riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah
berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa
sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati
Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.
C. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu
Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia)
tahun 874 - 947 M. Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada
tempat kelahiranya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau
sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya
Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam.
Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan
Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu
pengetahuan mengenai alam fana.
Keluarga Abu Yazid
termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana,
Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai
kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.[5]
Sewaktu meningkat usia
remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang
patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali
gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat
menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk
menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi
setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk
menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai
seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab
Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la
mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[6]
Pengetahuan yang mendalam
mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam.
Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia
pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal
keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah
kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan menghentikan larangan dan menjaga batas-batas
syari’at.
Abu Yazid meninggal dunia
tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui
Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa
dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya
tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya.
Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan.
v Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-Ittihad Abu Yazid
Ajaran al-fana’,
al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari
kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari Syai’
(sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah
berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana.
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H
/ 988 M) mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu
seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia
kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah
: Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya
tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya .
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa
manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat
ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran
sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang
irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya
wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs.
Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti
sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya.
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat
dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
ذهاب قلب عن حسن
المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له.
يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena
hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih
berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera.
Sebelum sampai kepada al-ittihad
seorang sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat
menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnya al-fana’
sebagai proses awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqa yang satu
dengan yang lain merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud
dengan hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan
menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan
al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang diri sendiri
hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya fana otomatis baqa
akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad pun terjadi pula. Abu
Yazid membawa pengertian yang berbeda
dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan
D. Nama dan riwayat hidup al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Hasan bin Mansur
bin Muhammad al-Baidhawi, dan dikenal dengan nama al-Hallaj,dia dilahirkan pada
tahun 244 H/855 M,di desa Thur dekat desa bida di Persia
Sejak kecil dia sudah banyak bergaul dengan sufi tewrkenal.
Pada waktu berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada sahil bin Abdullah
al-Tusturi, salah seorang tokoh terkenal pada abad ke tiga Hijriyah dan
seterusnya dia meneruskan pelajrannya kepada Amr Al-Makky dan Junaid Al-
Bagdadi, serta aktif mengiuti gurunya dalam setiap pertapaan.[7]
Dalam peerjalanannya dan pertemuannya denga ahli-ahli sufi,
timbulah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia
telah menjadi perbincangan para ulama waktu itu karena paham tasawufnya yang
berbeda dengan yang lain. Karna pahamnya itu, seorang ulama fiqh
terkemka Ibn al- Isfalani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran
yang dibawa oleh al-Hallaj sesat. Sehingga al-Hallaj dipenjaraka
dan setelah satu tahun dipenjarakan dia dapat melarikan diri dengan pertolongan
seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
Dari Bagdad dia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas.
Disinilah dia bersembunyi 4 tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H/901 M dia
dipenjarakan kembali selama 8 tahun. Akhirnya pada tahun 309 H/921 M
diadakanlah persidangan para ulama dibawah kekuasaan bani Abbas di masa
al-Mukhtadirbillah. Pada tanggal 18 zilkaedah 309 H, jatuhlah hukuman kepada
al-Hallaj yaitu hukuman mati. Diriwayatkan sebelum sampai kepuncak penyiksaan
seluruh tubuhnya dicabik-cabik dengan cemati, riwayat hidupnya berakhir dengan
peristiwa yang tragis.
Intisari ajaran al-Hallaj yang kadang-kadang dinyatakan
dalam bentuk sya’ir dan berupa nash dalam kata-kata yang dalam.
v Inti dari ajaran al- Hallaj
a. Hulul
Para ulama maupun para sarjana berbeda pendapat tentang
hakikat hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha manampilkan beberapa pendapat
tentang hal tersebut. Didalam kesimpulannya dia mengatakan bahwa hululnya
al-Hallaj ini bersifat majazi tidak dalam pengertian yang sesungguhnya,
sebagaimana telah disebutkan diatas, Irfan abd al-Hamid Fattah berpandapat
bahwa paham “kesatuan wujud” telah mulai tampak sejak lahir Abu Yazid al-
Bustami dengan paham Ittihadnya. Dan paham hulul al-Halaj ini menurut
al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang
diajarkan oleh Abu Yazid al- Bustami. Jika dilihat lebih jauh antara ittihad
dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad diri Abu Yazid al-Bustami hancur
dan yang ada hanya diri Allah, sedangkan dalam hulul, diri al- Hallaj tidak
hancur. juga dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sedangkan
dalam paham hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut al-Hallaj Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu
sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiasan (nasut). Demikkian pula manusia
disamping memiliki sifat kemanusiaan juga memiliki sifat ketuhanan dalam
dirinya. Paham al-Hallaj ini juga dapat dilihat dari penafsirannya mengenai
penciptaan nabi Adam (al-Quran surat al-baqaarah ayat 34).dan (ingatlah) ketika
kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam maka sujudlah
mereka kecuali iblis, ai enggan dan takabur dan ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
Menurut al- Hallaj Allah memberikan perintah kepada
malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagai
mana Dia menjelma (hulul) dalam Isa a.s. paham bahwa Allah menjelma dalam diri
Adam berarti pula bahwa Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya.
Dengan demikian menurut paham tasawuf al- Hallaj, dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat
kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bias terjadi dan
persatuan itu mangambil bentuk hulul.
Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu
menghilangkan sifat “kemanusiaan melaluin Fana’”.kalau sifat-sifat kemanusiaan
itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya,
disitulah baru tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika
itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj, seorang sufi bisa
bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: Ana al-Haqq (Aku adalah
Tuahan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan itu, tetapi roh Tuhan mengambil
tempat dalam dirinya. Dengan kata lain bahwa al- Hallaj sebenarnya tidak
mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula ia tegaskan, Aku adalah rahasia yang
maha benar, dan bukanlah yang maha benar itu aku, Aku hanya satu dari yang
benar, maka bedakanlah antara kami.
BAB
III
KESIMPULAN
Dzun
Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran
terhadapisyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang
maqamat dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufistik.
Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al
Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali
Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya,
maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang
lain.
Kecintaan
(Mahabbah) Rabi’ah terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa
yang dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk
membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh
kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini
dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang
tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya
bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah pengejaran
cinta yang agung dari Penciptanya.
Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.
Al Hallaj Perbedaan
adalah tokoh sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham hulul Antara al-Ittihad dengan al-Hulul. Dalam ittihad
yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang ada
hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua
wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
v Miskawaih, Ibnu, Tahzib
al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934.
v Abdul
Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah,
Surabaya, 1933.
v Ali, Sayyid Nur Sayyid,
At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan,
2003
v Drs. H.A Mustafa, Akhlak tasawuf
( Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. Ke-V, hal.224
v Dr. Asmaran A.S. . A, pengantar
studi tasawuf ( Jakarta: PT.Rasa Grafindfo persada, 2002) cet.ke-2 hal.311
[3]
Drs. Duski Samad, M.A. Studi
Tasawuf Sejarah, Tokoh dan Pemikirannya. Hal. 183
[4]
Drs. Abuddin Nata M.A. Akhlak
tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 237
[5]
Rivay Siregar, , Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 147
[6]
Simuh,Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1997) hal 109
[7]
Rivay Siregar, Op. Cit,
h.156-157 . Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Syaofiyah fi
al-Islam, (Dar al-Fikri: Kairo, 1996), h.361
.jpg)
No comments:
Post a Comment