Monday, November 3, 2014

Tokoh - Tokoh Tasawuf





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan faham dan tokoh  yang merintis jalan tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Dzun an-Nun al-Misri), al-fana dan al-baqa (Abu yazid al-Bustami) dan al-hulul dan al-Ittihad (Al-Halaj)
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan dari segi tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang berbeda.  Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa. Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh banyak pengikutnya  dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang ini, tidak dilihat dari sudut pandang  yang lain.






BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                     
A.    Riwayat Hidup Dzun Nun al- Mishri
Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.
Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.[1]
Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.[2]
Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.   

v  Al Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri
Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat.
Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan:[3]
                                                                                                                                                                                               
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.

2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.

3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad.

Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.

B.        Riwayat  Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut  banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:[4]

Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,

Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,

Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,

Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.

Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.

C.  Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana.
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.[5]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[6]
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan  menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan.

v  Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-Ittihad Abu Yazid
Ajaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana.
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs.
Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya.
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh indera.

Sebelum sampai kepada al-ittihad seorang sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnya al-fana’ sebagai proses awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqa yang satu dengan yang lain merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya fana otomatis baqa akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad pun terjadi pula. Abu Yazid membawa pengertian  yang berbeda dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan

D.   Nama dan riwayat hidup al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Hasan bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, dan dikenal dengan nama al-Hallaj,dia dilahirkan pada tahun 244 H/855 M,di desa Thur dekat desa bida di Persia
Sejak kecil dia sudah banyak bergaul dengan sufi tewrkenal. Pada waktu berumur 16 tahun, dia pernah berguru kepada sahil bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh terkenal pada abad ke tiga Hijriyah dan seterusnya dia meneruskan pelajrannya kepada Amr Al-Makky dan Junaid Al- Bagdadi, serta aktif mengiuti gurunya dalam setiap pertapaan.[7]
Dalam peerjalanannya dan pertemuannya denga ahli-ahli sufi, timbulah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi perbincangan para ulama waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Karna   pahamnya itu, seorang ulama fiqh terkemka Ibn al- Isfalani mengeluarkan  fatwa yang mengatakan bahwa ajaran yang dibawa oleh al-Hallaj sesat. Sehingga   al-Hallaj dipenjaraka dan setelah satu tahun dipenjarakan dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga penjara yang menaruh simpati kepadanya.
Dari Bagdad dia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah dia bersembunyi 4 tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H/901 M dia dipenjarakan kembali selama 8 tahun. Akhirnya pada tahun 309 H/921 M diadakanlah persidangan para ulama dibawah kekuasaan bani Abbas di masa al-Mukhtadirbillah. Pada tanggal 18 zilkaedah 309 H, jatuhlah hukuman kepada al-Hallaj yaitu hukuman mati. Diriwayatkan sebelum sampai kepuncak penyiksaan seluruh tubuhnya dicabik-cabik dengan cemati, riwayat hidupnya berakhir dengan peristiwa yang tragis.
Intisari ajaran al-Hallaj yang kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk sya’ir dan berupa nash dalam kata-kata yang dalam.
v  Inti  dari ajaran al- Hallaj
a. Hulul
Para ulama maupun para sarjana berbeda pendapat tentang hakikat hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha manampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Didalam kesimpulannya dia mengatakan bahwa hululnya al-Hallaj ini bersifat majazi tidak dalam pengertian yang sesungguhnya, sebagaimana telah disebutkan diatas, Irfan abd al-Hamid Fattah berpandapat bahwa paham “kesatuan wujud” telah mulai tampak sejak lahir Abu Yazid al- Bustami dengan paham Ittihadnya. Dan paham hulul al-Halaj ini menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al- Bustami. Jika dilihat lebih jauh antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad diri Abu Yazid al-Bustami hancur dan yang ada hanya diri Allah, sedangkan dalam hulul, diri al- Hallaj tidak hancur. juga dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sedangkan dalam paham hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut al-Hallaj Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiasan (nasut). Demikkian pula manusia disamping memiliki sifat kemanusiaan juga memiliki sifat ketuhanan dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini juga dapat dilihat dari penafsirannya mengenai penciptaan nabi Adam (al-Quran surat al-baqaarah ayat 34).dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam maka sujudlah mereka kecuali iblis, ai enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurut al- Hallaj  Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagai mana Dia menjelma (hulul) dalam Isa a.s. paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam berarti pula bahwa Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya.
Dengan demikian menurut paham tasawuf al- Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia bias terjadi dan persatuan itu mangambil bentuk hulul.
Agar manusia dapat bersatu itu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat “kemanusiaan melaluin Fana’”.kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah baru tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj, seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: Ana al-Haqq (Aku adalah Tuahan) bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan itu, tetapi roh Tuhan mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain bahwa al- Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula ia tegaskan, Aku adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang maha benar itu aku, Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.  








BAB III
KESIMPULAN
Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran terhadapisyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
 Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya.
Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.

 Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul Antara al-Ittihad dengan al-Hulul. Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.




DAFTAR PUSTAKA

v  Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934.
v  Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933.
v  Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003

v  Drs. H.A Mustafa, Akhlak tasawuf ( Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. Ke-V, hal.224

v  Dr. Asmaran A.S. . A, pengantar studi tasawuf ( Jakarta: PT.Rasa Grafindfo persada, 2002) cet.ke-2 hal.311





[1] Duski Samad, Studi Tasawuf Sejarah Tokoh dan Pemikiranya, (Padang,2004),h.190-1
[2] Abdul Hadi WM,  Tasawuf  Yang Tertindas (Jakarta: Paradigma, 2001), h. 44
[3] Drs. Duski Samad, M.A. Studi Tasawuf Sejarah, Tokoh dan Pemikirannya. Hal. 183
[4] Drs. Abuddin Nata M.A. Akhlak tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 237
[5] Rivay Siregar, , Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 147
[6] Simuh,Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997) hal 109
[7] Rivay Siregar, Op. Cit, h.156-157 . Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Syaofiyah fi al-Islam, (Dar al-Fikri: Kairo, 1996), h.361